Saturday, March 28, 2009

mbecak ke batam...

hampir 10 tahun tak bertemu, eh tiba-tiba jumpa di facebook. nama kawan saya ini heru kurniawan, seingat saya waktu kuliah hobinya main bola. kebetulan saya tak suka bola, jadi tak tahu apakah permainannya bagus atau tidak he he he. dari hasil searching, awalnya aku temukan parasnya nampang di facebook, saya undang saja sebagai kawan. alhamdulillah, beberapa hari kemudian dia menerima undangan saya (jangan lupa ngundang kalau bikin acara bos, siapa tahu bisa main ke pekalongan).

barusan saya buka facebook, ada beberapa pesan masuk. salah satunya dari heru. pegawai bni di pekalongan ini merasakan nikmatnya bekerja dekat rumah, bisa melihat kondisi orangtua setiap saat. wuih, enaklah. begitu tahu saya sekarang di tanjungpinang dan batam, komentar pertamanya membuat saya tersenyum. begini tulis dia: batam, wah nek numpak becak mungkin sedino lagi tekan ya (batam, wah kalau naik becak mungkin seharian baru sampai ya).

bagi saya itulah jawaban yang menyenangkan. saya tahu, sebagai pegawai bank tentu heru bisa sekadar main-main ke batam. saya hanya mengartikannya begini: buat apa ke batam, apa sih yang bisa dijanjikan batam kalau saya ke sana? coba pertanyaan seperti ini melekat di hati setiap calon pencari kerja yang hendak mencari duit di batam. pasti batam tak seperti ini, banyak pengangguran di mana-mana. pencari kerja berseliweran di mana-mana. kriminalitas di mana-mana. laporan ke polisi karena istri ditendang suaminya, buruh pabrik nyaris diperkosa, pembantu dihajar majikannya, dan lain-lain seakan tak pernah habis.

mendalami kata mbecak heru, mungkin maknanya lebih dari itu. bisa anda bayangkan kalau mbecak kok sampai satu jam. ah, betapa pegalnya tulang pinggul. apalagi becak bukanlah bis patas ac, yang selalu dingin meski melawati pantura saat musim kemarau. naik becak tetap saja panas ketika melewati tanah lapang tanpa pelindung panas. memang ada atapnya, tetap saja panas. belum lagi tempat duduknya yang terasa panas kalau sampai satu jam diduduki. dan.... jangan lupakan penarik becaknya. bisa-bisa kelelahan dan sakit di tengah perjalanan.

betul her, buat apa mbecak ke batam? kecuali di samping penumpang ada sayuran, jamu gendong, buku pijat atau lainnya. maksud saya, meski capek mbecak sampai batam, paling tidak ada harapan bisa bertahan hidup, entah sebagai petani sayuran, tukang urut atau pijat, penjual jamu gendong keliling dan sebagainya. tetapi kalau di samping tempat duduk penumpang ada ijazah dari perguruan tinggi ternama sekali pun, terbungkus sampul mengkilap, lebih baik saya sarankan putar saja becak yang ada tumpangi mumpung belum satu jam dan nyampai di batam.

kenyataan saya lihat sendiri, berapa banyak sarjana pengangguran (atau pengangguran sarjana?) di batam.

penasaran? lanjut....

Friday, March 27, 2009

Ketua RT vs Anggota DPRD

Malam itu Cik Syurlai dapat undangan kondangan (baca doa) tetangganya. Pesan si pengundang yang datang sore: syukuran rumah. Meski kadang-kadang cuek sama orang lain, tetapi untuk urusan yang ada makan-makannya tak bakal ditinggalkan lelaki ini. Lihatlah, belum juga azan isya berkumandang dia sudah rapi dengan kopiah putihnya. Sampai-sampai Tinah, istrinya ngeledek habis-habisan. Toh apa kata orang, Cik Syurlai tetap melenggang.

Selangkah, dua langlah, akhirnya tiba juga Cik Syurlai ke rumah Wage, tetangga yang ngundang kondangan. Setelah mengucapkan salam, Cik Syurlai disambut jabat tangan belasan warga yang sudah datang terlebih dahulu: selamat datang Pak RT! Rupanya pamit dengan istrinya, Cik Syurlai tak langsung ke tempat kondangan, melainkan mampir dulu ke pos ronda yang ada di gang dekat rumahnya hanya untuk mendapatkan selinting rokok. Dan Pak RT malam itu mendapatkan tempat yang spesial, di tengah-tengah ruangan, biar bicaranya bisa didengar semuanya.

Mumpung ada Pak RT, satu per satu warga berkomentar. Dari soal parit yang sudah saatnya dikeruk secara gotong royong hingga penampilan Si Mince yang dianggap Jawir, pemuda setempat, sebagai biang pemicu nafsu. "Lha pagi-pagi mau ke pasar saja pakainya rok mini," Jawir melempar bola panas. "Tapi kan kamu suka juga ngelihatnya, kan?" jawab Cik Syurlai. Jawaban yang membuat Jawir garusk-garuk kepala. Benar juga kata Pak RT-nya.

"Susah juga jadi Pak RT ya...." Cik Syurlai ganti berkomentar.

Jelas saja semua warga menatapnya tajam-tajam. Biasanya ia paling suka dianggap sebagai pionir, bahkan saat pilihan Ketua RT bulan lalu ia paling getol menyuarakan program-programnya. Penanaman sejuta pohonlah, membebaskan warganya dari administrasi pembuatan surat pengantar untuk KTP, mengupayakan lapangan bola, mendirikan kelompok tani dan sebagainya. Gaya pidatonya yang mak nyos membuat warga simpatik. Pokoknya kalau soal bicara jangan lawan yang satu ini.

Lalu Cik Syurlai meneruskan kalimatnya, pertama ia harus kehilangan senyum ramah tetangga rumahnya persis gara-gara menjalankan amanat sebagai Ketua RT. Beberapa malam lalu, Cik Syurlai mendapati tetangganya itu mabuk-mabukan di ujung gang bersama lima temannya. Sebagai Ketua RT, Cik Syurlai pun mengingatkan, "Sudah menjadi kesepakatan warga untuk tidak minum-minuman keras di wilayah RT kita. Kalau sekadar minum air putih silakan, atau minum es cendol jangan lupa undang saya. Kalau memang kegiatan ini dianggap memiliki nilai plus dalam diri saudara-saudara sekalian, saya atas nama warga sini memohon untuk tidak melakukannya di sini. Mau di perempatan jalan protokol sana, di dekat rawa belakang sana atau di mana saja, silakan." Oalah, keesokan paginya si tetangga yang biasanya rajin tersenyum kepada Pak RT-nya malah membuang muka.

Kedua, Cik Syurlai juga harus kehilangan tempat mengutang rokok dan gula lantaran ketegasannya sebagai Ketua RT. Si pemilik kedai kebetulan pengusaha pagar besi di belakang rumahnya. Kalau pas dapat banyak orderan, suara gergaji dan mesin lainnya terdengar jelas. Lantas ada warga lain ngadu. Begitulah, ketika dinasehati Pak RT agar bisa memahami waktu istirahat, si pemilik kedai manggut-manggut. Sehari kemudian, ketika bibir dower Cik Syurlai pahit karena jatah rokok habis, ia tegas-tegas ditolak ngutang lagi. "Bapak ini Ketua RT apa, ada warganya membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja kok malah disengiti. Tak ada utang-utangan lagi, sudahlah utang kemarin saya ihlaskan saja. Cuman besok jangan ngutang di warung saya lagi," cerocos pemilik kedai. Hati Cik Syurlai langsung mak nyut. Nasib-nasib.

Ketiga, ada salah satu warga Cik Syurlai yang paling susah diajak kerja bakti. Ada-ada saja keluhan dan alasannya. Yang pulang kerja malamlah, yang izin karena bisulnya di pantat sudah mau bocorlah, bibirnya sariawanlah. Padahal apa hubungannya bibir sariawan sama kerja bakti. Lha kok jawabannya seperti ini, "Kalau kerja bakti kan pasti ada makanannya Pak RT. Padahal makanan itu dibeli dari kas warga, nggak adil dong kalau saya tak ikut merasakan." Walah, orang hidup kok cuman mikir perut. Padahal kalau Cik Syurlai disuruh milih, ia lebih milih bawah perut. Gara-gara pilihannya ini, sering istrinya yang bekerja di kota kesiangan bangun, tak kebagian metrotrans lagi. Habis malamnya suaminya sibuk ngurusi yang satu itu.

Terkait dengan warga pemalas ini, lagi-lagi Cik Syurlai mendapatkan getahnya. Suatu waktu, si warga minta surat pengantar sebagai warga miskin yang berhak mendapatkan kartu miskin. Syaratnya ada pengantar dari Ketua RT. Karena malas kerja bakti, ada alasan Cik Syurlai untuk mempersulit urusan ini. Lhadalah, tanpa dikomando dari mulut si warga keluar sumpah serapah. Katanya, Pak RT kan sudah dibayar sama pemerintah. Kan dapat insentif, kok masih mempersulit karena saya memang tak bawa uang ke sini. Cik Syurlai mengurut dada, sumpah bukan urusan duit tetapi kesetiaan bagi warganya tadi untuk meningkatkan rasa kesadaran bermasyarakat. Mana pernah Cik Syurlai meminta uang administrasi kepada setiap warganya yang minta surat ini dan itu. Setiap ditanya berapa, ia paling cuma menjawab: terserah. "Kan saya tidak minta pada warga, mereka nanya berapa saya jawab terserah. Terserah kan banyak artinya, terserah kalau tidak mau memberi, terserah kalau hanya mengucapkan terima kasih, terserah kalau mau menginap dan sebagainya," ini kelitan Cik Syurlai ketika Pak RW-nya datang klarifikasi soal duit pengurusan surat yang biasa diterima Cik Syurlai sebagai Ketua RT.

Ke sekian, ada lagi yang membuat Cik Syurlai sedih. Apa pada tak tahu kalau Tinah, istrinya yang cuma satu-satunya bekerja sebagai buruh pabrik di kota. Dari tabungan sedikit demi sedikit, istrinya berhasil mengumpulkan duit. Dirasa sudah cukup, Cik Syurlai pun memanggil tukang untuk membuatkan pagar semen di depan rumahnya. "Apa yang saya dengar dari warga? Maaf lho ini, bukan sampeyan-sampeyan yang bicara, tetapi warga yang di ujung sono dan sono," sebelum bercerita lebih komplit Cik Syurlai mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lucu sekali gayanya. "Ada yang bilang, tuh Cik Syurlai baru jadi RT sebulan sudah bangun pagar," lanjut Cik Syurlai, "apa saya sebagai Ketua RT harus meladeni tudingan-tudingan seperti itu. Kata orang-orang bijak, seperti dalam pilem-pilem itu, lebih baik mengalah untuk menang."

Sungguh, malam itu warga yang hadir kondangan seolah-olah turut merasakan penderitaan Cik Syurlai sebagai Ketua RT. Melihat mimik warganya sedih, Cik Syurlai tak ingin memutus keseriusan mereka mendengarkan perkataannya. Menurut Cik Syurlai, lebih berat menjadi Ketua RT dibandingkan anggota DPRD. Mana tahu anggota DPRD kalau ada persoalan warganya menyangkut rok mini, malas kerja bakti dan segala yang dirasakan Cik Syurlai. Mereka hanya tahu anggaran untuk pos A kok tahun ini berkurang, kalau reses pun sekadarnya melongok ke bawah. Padahal mereka dipilih oleh rakyat. Memang benar, ada juga anggota DPRD yang rela mengeluarkan duit banyak supaya mendapatkan simpati. Begitu duduk yang dicarinya adalah mengembalikan modal yang sudah dibagikannya sebelumnya. Tetapi, imbuh Cik Syurlai, anggota DPRD kan sudah digaji lumayan besar dibandingkan gaji istrinya. Untuk duit-menduit ini, Cik Syurlai pun buka-bukaan, "Saudara-saudara mungkin tak tahu. Untuk membuat brosur program-program ke-RT-an saya waktu pemilihan itu saya harus bayar fotokopi. Foto yang ada di fotokopi itu juga hasil bayar di studio foto, tetapi saya senantiasa dekat dengan warga. Reses tak reses sama saja, saya ada di sini. Aku ada untuk kamu, begitu kata Mas Dhani menyanyikan Kamulah Satu-satunya."

Mana peduli anggota dewan mendengarkan kas warga yang menipis karena bulan ini banyak warga yang sakit, uangnya kita sumbangkan. Anggota dewan tak tahu, yang dia tahu kalau sakit bisa berobat ke rumah sakit yang diinginkannya. Berapa pun biayanya akan dibayar yang penting bisa sembuh. "Harusnya anggota dewan itu yang seperti saya. Dikritik warganya menerima, tidak malah nantang karena merasa punya bekingan. Apalagi setelah masa kampanye ini, coba hitung berapa banyak baliho, spanduk mereka dipasang di tepi jalan menuju perumahan kita. Kelihatan sudah saling jegal dari awal. Di mana ada sudut yang bagus, ramai-ramai dipasangi gambar. yang gambarnya besar itu yang tampak, yang kecil ya pasrah saja. Kalau ada gambar foto yang roboh, mana ada yang mau menegakkan. Saya pernah melakukan itu karena saya merasa tersentuh hati, siapa tahu yang gambarnya saya tolong nanti terpilih dan bisa menolong saya.." Cik Syurlai berapi-api.

Warganya saling melirik lalu tersenyum. Kalau sudah bicara pada level serius seperti itu, apa yang dilontarkan Cik Syurlai pasti tak terkendali.

Cas cis cus Cik Syurlai masih berlanjut, dan baru terhenti saat ustad yang dipanggil tuan rumah datang untuk memimpin doa. "Jadi Cik Syurlai tertarik untuk menjadi anggota DPRD nih?" tanya ustad yang sempat mendangarkan sepenggal pidato Cik Syurlai.

Ditanya seperti itu, Cik Syurlai hanya bisa mengulum senyum. Sekolah tak selesai, modal cuma dengkul yang sudah keropos. Acara dimulai, Cik Syurlai terpekur dalam doa bersama warga. Ada satu doa diucapkan Cik Syurlai, Ya Tuhan, sejahterakanlah negeri ini, berilah kepedulian untuk pemimpin bangsa ini dengan keadaan Ketua RT-nya, naikkanlah insentifnya. Amin...

penasaran? lanjut....

Tuesday, March 24, 2009

Tukar Nasib

Bukan hanya warga kere, miskin, gembel yang suka meniru gaya berbisnis orang kaya. Jika orang kaya mampu membangun SPBU, wong cilik juga membuat tiruannya dengan kios bensin eceran tepi jalan. Yang kaya berlomba-lomba membuat mal dan supermarket, yang kroco juga sama, melirik rumah paling sudut yang ditawarkan developer untuk dijadikan kedai kelontong. Kalau belum mampu melengkapi barang jualan, rokok beberapa bungkus pun jadilah.

Ternyata, orang yang dianggap pinter, tahu aturan, tahu hukum pun pingin mencoba bisnis rakyat. Mungkin ingin turut merasakan susahnya menjadi orang kecil, makanya dua jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta put ikut-ikutan menjual barang bekas. Padahal saat ini pedagang barang bekas lagi mak nyut-nyut kepalanya lantaran larangan mengimpor barang bekas dari negera si bule. Pasti bukan lantaran ukurannya yang gede lantas kedodoran ketika dipakai orang kita yang jelas berbeda postur. Bukan, bukan itu.

Cik Syurlai belum selesai membaca berita tentang ditetapkannya dua jaksa tersebut sebagai tersangka karena menjual barang bekas. Namun ia sudah bersungut-sungut kepada istrinya yang baru lima jam pulang dari kos-kosannya di kota. Buruh pabrik ini tersenyum memandangi suaminya yang kemudian menatapnya tanpa senyum. "Ada apa Bang?" tanya Tinah, istri Cik Syurlai.

"Bayangkan dik, masa jaksa kok ngikut cara kita berjualan enam bulan lalu."
"Maksud Abang?"
"Lha iya jelas keblinger, lha wong jaksa yang duitnya banyak, berangkat ke kantor pakai mobil yang catnya bisa kita buat ngaca, yang modelnya selalu terbaru.."
"Jadi Abang iri, ingin jadi jaksa. Eling Bang, sekolah Abang itu cuman sampai kelas empat SD."
"Kita, orang kecil saja nggak bisa lagi jualan barang bekas karena barangnya susahnya selangit didapatkan, kok bisa-bisanya dua jaksa dan seorang polisi ingin mencobanya. Ujungnya, ya dipenjara."
Raut muka Tinah langsung muram, ia takut jika nanti bekas pedagang barang bekas sepertinya dicari lalu ikut dipenjara. Waduh...

Cik Syurlai tertawa melihat kelakuan istrinya. "Baca ini dik, dua jaksa dijadikan tersangka karena menjual barang bukti. Barang bukti kan sama saja dengan barang bekas, sama-sama bekas punya orang. bedanya, kalau kita dulu jualan baju, cawat, boneka, mainan, kutang bekas, kalau jaksa dalam berita ini jualan sabu-sabu yang jadi barang bukti," lanjut Cik Syurlai.

Oooo, Tinah melongo. Bulat sekali.

Cik Syurlai memandang langit dari balik jendela ruang tengah rumahnya. ia bingung memikirkan nasib bangsa ini. Ada orang pintar, tentu ada orang kurang pintar dan kurang beruntung sepertinya. Toh ia menerima keadaan. Ia sadar benar, di dunia memang hanya ada dua hal, hitam dan putih, baik dan buruk, atas dan bawah. Jaksa harusnya orang pintar, sekolahnya tinggi, buku referensinya saja tebal-tebal satu lemari, kok ya tega-teganya mengajari orang kecil dengan perilakunya yang tak terpuji.

Kalau memang diperbolehkan menjual barang bukti dengan status barang bekas, mengapa tak diserahkan saja pengelolaannya kepada orang-orang kecil sepertinya? Cik Syurlai tersenyum membayangkan bagaimana ia mendapatkan limpahan barang bukti berupa mobil-mobil mewah dari jaksa untuk dijual. Pasti untungnya besar. Istrinya tak perlu lagi repot bekerja di kota sebagai buruh pabrik, dua minggu sekali pulang ke rumah. Kalau barangnya belum laku, bisa dipakai jalan-jalan dahulu. Pamer prestise.

Membaca berita selengkapnya, Cik Syurlai merasa bersyukur bisa lebih waras. Selama menjalankan usaha menjual barang bekas, ia tak pernah mencuri barang dari toke. Paling cuma merayu agar ditambah bonus beberapa helai celana jins merek terkenal. Kalau pun akhirnya sang toke berbaik hati dengan memberinya bonus selembar cawat bekas dipakai Britney Spears, ia sudah bersyukur. Nah, dua jaksa yang ditetapkan jadi tersangka mencomot 300 butir ekstasi dari total 5.000 butir ekstasi hasil penangkapan di Apartemen Paladian, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan tersangka M Yusuf. Kasusnya sendiri tengah disidangkan.

Iri kok sama bisnis orang kecil, protes Cik Syurlai. Bukankah menjadi pejabat itu enak? Siang hari, saat jam makan bersama koleganya bisa memilih tempat makan yang enak. Bertemu kliennya, bisa memilih hotel yang adem karena AC-nya bagus. Kasurnya empuk mendut-mendut. Bisa nelpon pake hape berlama-lama karena untuk membeli pulsa tak harus menghitung keuangan keluarga. Olahraga juga terjamin, bisa renang setiap minggu, sebulan sekali main golf. Enak sekali menurut Cik Syurlai. Lantas ia melihat dirinya sendiri, punya hape satu yang dibeli dengan cara cicilan. Itu pun model kuno, kuno sekali. Layarnya hitam putih, berwarna kalau pas dimatikan. Saat mati gelap, saat menyala agak terang. Cuma bisa dipakai nerima telpon dan SMS. Bukannya rusak fasilitas ngirimnya, semata-mata karena jarang sekali diisi pulsa oleh pemiliknya. Ukurannya segede batu bata, hati-hati saja kalau sampai jatuh mengenai kaki, bisa bengkak. Tidur pun beralas kasur tipis yang diambil dari sisa barang bekas yang tak laku dijual, meski harganya dibanting setengah harga. Kata calon pembelinya, ada bekas noda di permukaan kasur. Padahal, siapa tahu kasur itu pernah dipakai Brad Pitt dan Angelina Jolie saat kencan?

Kalau memang ingin tukar nasib, mengapa tak dibuat sayembara lalu dimuat di koran-koran. Dicari, relawan yang ingin merasakan kehidupan pejabat. Boleh ngantor, boleh tinggal di rumahnya, pakai mobilnya, mungkin begitu isi iklannya. Dipastikan banyak warga kecil yang berbondong-bondong mendaftar. Pasti mereka rela, rela setengah mati dengan hati yang tulus rumahnya dipakai oleh pejabat yang ingin sekedar merasakan susahnya jadi warga kecil.

Seperti acara di teve itu lho. Tukar Nasib. Si miskin diberi kesempatan beberapa hari tinggal di rumah si kaya, sementara si kaya tinggal di rumah si miskin. Jika menyaksikan acara ini, kadang Cik Syurlai menitikkan air mata. Pada sebuah episode, saat batas waktu yang diberikan habis, si miskin membuat surat untuk si kaya. Isinya terima kasih telah diperkenankan merasakan hari-hari sebagai orang kaya dan tak lupa ditaruhnya bakul berisi sayuran, buah-buahan. Sebagai kunjungan balasan, setelah si kaya mendapatkan pemberian tulus dari si miskin, ia dan anggota keluarganya memberikan bingkisan untuk keluarga si miskin. Cik Syurlai tak peduli apakah acara itu dinilai mendidik atau tidak, baginya alangkah indahnya negeri ini jika garis batas kaya dan miskin hanyalah berupa benang tipis. Kenyataannya, batas itu begitu kentara. Rumah yang dipagar beton tebal setinggi tiga meter sudah pasti milik si kaya, atau katakanah pejabat. Rumah berdinding papan di atas kali dengan toilet alam, sudah pasti milik si miskin. Pejabat yang bisa ruang kerjanya di lantai lima bisa dengan gampang menyaksikan bagaimana si miskin berlari tergesa-gesa mencari toilet umum di bawah sana. Pejabat kaya bisa nyaman berkendara di jalan raya, kaca mobil sengaja dijadikan penghalang untuk membuka mata melihat sekelilingnya. Tentang wanita tua yang berjualan nasi bungkus di bawah pohon asam, simpang tiga yang dilalui mobil pejabat.

"Ah, bagaimana ya rasanya menjadi pejabat?" Cik Syurlai bertanya kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian ia terlelap, dan bangun dua jam kemdudian masih sebagai orang kere.***

Bidadari, Tanjungpiayu, Batam
25 Maret 2009

penasaran? lanjut....

Budaya Nyoblos Duluan

Entah apa yang ada dalam pikiran sejumlah orang ketika mendengar istilah nyoblos. Agaknya coblos-menyoblos tetap menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Saking pentingnya, orang nekat mencoblos duluan sebelum diperintahkan.

Meski kata nyoblos dewasa ini pasti dilarikan ke ranah politik. Namun, jauh-jauh hari sebelum Pilkada digembar-gemborkan, urusan coblos-mencoblos kerap mewarnai halaman surat kabar, dibacakan penyiar radio dan televisi, juga bisik-bisik tetangga.

Mencoblos tentulah enak. Paling tidak menurut Cik Syurlai begitu. Ia memperkuat alasannya, ada pejabat yang sudah enak duduk di kursi empuk akhirnya jatuh gara-gara asyik mencoblos sesuatu yang bukan miliknya. Tak hanya di dalam negeri, di luar
negeri sana juga begitu banyak skandal soal coblos-mencoblos.

"Itu, Anwar Ibrahim dari Malaysia dibui karena tuduhan mencoblos. Penyanyi pop kelas dunia, Michael Jackson juga tersandung masalah mencoblos anak kecil. Bahkan petinju favoritku, Mike Tyson karirnya ambruk hanya gara-gara terlalu mengumbar nafsu mencoblosnya," suara Cik Syurlai berapi-api di kedai Mpok Minah. Sementara yang lain terbengong-bengong dengan kalimat yang keluar dari mulut Cik Syurlai yang tak ubahnya peluru dari senjata kelas berat di medan pertempuran, Mpok Minah justru melengoskan bibirnya. "Tiap ke warung pasti bicaranya besar, padahal yang dibeli cuma satu bungkus kwaci, itu pun yang ukurannya paling kecil. Dan satu lagi kebiasaan pelanggannya yang satu ini...," gerutu Mpok Minah belum usai ketika didengarnya suara Cik Syurlai.

"Mpoooook!" teriak Cik Syurlai.
"Tereak lagi, suaranya dikecilin bisa tak?" pinta Mpok Minah.

Yang diajak bicara tak menjawab, hanya mengedipkan sebelah matanya. Jemari tangan kanannya membentuk gerakan seolah mencengkeram gelas. Itulah kebiasaan Cik Syurlai setiap kali datang ke kedainya, yang membuatnya jengkel dalam hati. Selalu minta air putih dalam gelas besar, gratis!

Begitu meneguk air putih, semangat Cik Syurlai meninggi. Bagaikan Bung Tomo yang membangkitkan semangat para pejuang di Surabaya tempo doeloe, kali ini Cik Syurlai bangkit dari duduknya. "Banyak berita kita baca, jejaka-jejaka yang baru pacaran sudah berani mencoblos duluan pasangannya yang masih berstatus pacar. Apa ndak gila ini namanya?" tanyanya.

Bogel, Waras, Leman, Zulkipli, Butet, yang sore itu meramaikan kedai Mpok Minah bagaikan tersihir oleh gaya bicara Cik Syurlai. Menurut cerita, bakat berorasi lelaki yang usianya separoh baya ini turun dari almarhum bapaknya, Cik Mahmud. Semasa hidupnya, Cik Mahmud begitu dikenal. Sewaktu zaman penjajahan, Cik Mahmud mendapatkan tugas untuk bernegosiasi dengan petinggi kolonial. Dengan gaya dan otak encer, biasanya ia berhasil meredam konflik. Seandainya gagal di meja perundingan,
Cik Mahmudlah orang pertama yang akan berlari di garis depan sambil mengacungkan bambu runcing menghadapi tentara penjajah. Seharusnya ia pantas mendapatkan gelar pahlawan atas jasanya mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajah. Kematiannya juga di ujung peluru seorang tentara kolonialis.

Bakat bicara saja yang turun di darah Cik Syurlai, lainnya jauh panggang dari api. Meski jago bicara, sayang keenceran otak Cik Syurlai tak permanen. Kalau keuangannya tak ada masalah, ia bisa berpikir cepat dan jitu. Sebaliknya, dengan dompet yang tipis, upaya diplomasinya lebih banyak gagal. Pernah ia diminta sesepuh kampung membicarakan rencana penyerangan pemuda kampung buntut senggolan di acara dangdutan. Caik Syurlai memang datang sendirian ke balai pertemuan kampung tetangga. Karena merasa yang diajaknya bicara tak selevel dengannya, ia marah-marah sambil berkacak pinggang. Alhasil, ia kembali ke kampung dengan muka lebam-lebam dikeroyok pemuda kampung sebelah.

"Cik, kalau coblosan Pemilu?" pertanyaan Bogel membuat dahi Cik Surlai berkerut.

"Lho sampeyan ini bagaimana, sama saja! Ndak percaya, lihatlah di tepi-tepi jalan itu. Buanyak sekali gambar caleg terpampang. Cermati satu per satu, ada ndak yang bagian matanya dilobangi, hidungnya disundut rokok, atau bibirnya ditusuk pakai ranting kayu. Itu coblos-mencoblos yang terlalu cepat," Cik Syurlai bangga bisa memberikan contoh untuk kedua jenis coblos-mencoblos dengan gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bukan hanya menyebutkan coblosan terlalu dini itu, Cik Syurlai juga bisa menyebutkan satu per satu nama-nama caleg yang foto di balihonya dicoblosi orang tak bertanggung jawab. Ia menggelengkan kepalanya, zaman sudah berubah, Pemilu menggunakan surat suara yang tak lagi dicoblos, melainkan dicontreng atau diconteng atau dicentang. Masih saja budaya coblos-mencoblos melekat dalam dada warga.

Apakah ini sebagai protes warga atas keplin-planan KPU karena mengganti sistem coblosan dengan contrengan? Cik Syurlai melihatnya bukan, warga akan ngikut kok apa kata orang-orang berdasi di atas. Tentu KPU sudah berpikir keras dan berulang-ulang sebelum menerbitkan keputusan tentang cara memilih calon wakil rakyat pada surat suara. Pasti rapatnya berkali-kali, sampai subuh. Pasti juga ada yang protes, ada juga yang minta waktu berpikir keras.

"Bagi saya mencoblos duluan itu sebuah tindakan bodoh. Jelas bulan April nanti kita mencontreng kok, masih suka mencoblos. Apalagi yang dicoblosi gambar orang. Kalau tak suka, ya jangan pilih di bilik suara. Begitu saja kok repot. Bahkan kalau dilaporkan sama caleg yang gambar matanya dilobangi, hidungnya disundut api roko atau mulutnya dicoblosi, pelakunya bisa dibawa ke penjara. Marilah kita sukseskan Pemilu. Partisipasi kita sangat berharga untuk menentukan pilihan kita. Kita harus aktif. Ini coblosan Pemilu, lho, bukan coblosan yang uenak itu," Cik Syurlai meluruskan. Lihatlah polahnya, sewaktu mengatakan uenak matanya merem-melek. Dasar!

Sekian lama hening, tumben Cik Syurlai berotak pintar sore itu. "Eh, ngomong-ngomong nanti Cik Syurlai dapat TPS (Tempat Pemungutan Suara) mana?" tiba-tiba Mpok Minah nongol sambil duduk di satu-satunya kursi yang masih tersisa di depan kedainya.

Cik Syurlai yang tadinya berapi-api, mengobarkan demokrasi, tergagap. Ia tambah gagap ketika Ketua RT-nya, Pak Danu yang sosoknya tinggi besar, berkumis tebal dan bibirnya selalu terselip rokok kretek mendekatinya sambil bertanya, "Cik Syurlai tiga hari lalu bilang ke saya mau golput karena merasa tak terdaftar sebagai memilih, kan? Kalau mau penjelasan nanti malam datang ke rumah saja."

Wuuuu! Serentak yang hadir sore itu mengolok-olok Cik Syurlai yang sok nasionalis tetapi belum terdaftar sebagai pemilih tetap. Dan kata Pak RT-nya, ia juga tak punya KTP setelah KTP lamanya habis masa berlakunya tiga tahun silam. Diolok-olok begitu, Cik Syurlai beranjak pulang. Sore ini Tinah, istrinya yang kerja di pabrik luar kota pulang ke rumah. Dua minggu sekali perempuan bertubuh montok ini pulang untuk memberikan uang kebutuhan hidup Cik Syurlai yang nasibnya kurang bagus, tak pernah diterima saat melamar kerja. Hanya satu terpikir di benak kepalanya. "Nyoblos duluan, ah," bisiknya dalam hati.

Batam, 24 Maret 2009

penasaran? lanjut....

Monday, March 23, 2009

susahnya menjadi manusia

saya baru bisa memaknai gambar monyet yang terpampang di kaca belakang sebuah minibus karyawan yang kerap melintas di mukakuning. sudah hampir lima bulan saya tak melihatnya lagi karena sejak tiga bulan lalu saya pindah tugas di tanjungpinang. di bawah gambar yang dibuat dengan sistem airbrush itu, jelas tertulis kalimat susahnya menjadi manusia. benarkah manusia itu susah?

beberapa hari lalu saya membaca koran nasional terbitan batam. pada halaman interaksi untuk warga ditanyakan gundukan material yang ada di tepi jalan di tanjungpiayu. isinya pengirim surat ke redaksi protes, harusnya benda itu tak ada karena dirasa menggangu nyamannya perjalanan.

kemarin saya pulang, setelah dua minggu bekerja di tanjungpinang. dua minggu sebelumnya, saya tahu kalau jalan raya dari mukakuning sampai tanjungpiayu tengah diperbaiki. meski kemarin belum rampung sampai ujung jalan, di pancur, tetapi saya sendiri bersyukur. jalan yang dulu rusak parah, dengan lobang sebesar kubangan kerbau di beberapa titik berganti dengan aspal hotmix. naik taksi kombat dari simpang panbil, perjalanan terasa nyaman. jadi lebih tenang juga berdesak-desakan di taksi karena tak lagi bergoyang-goyang. sebelumnya, setiap melewati lobang, badan taksi yang umurnya entah sudah berapa belas atau malah puluh tahun ikut berjoget. kalau ruang gerak penumpang luas sih tak apa-apa, kenyataannya siku tangan kita mau bergerak bebas saja takut. jangan-jangan nyenggol sesuatu milik karyawati perusahaan yang menjadi pelanggan setia taksi-taksi kombat tadi.

saya tidak membela jawaban pegawai humas pemko batam yang meminta warga sabar dengan gundukan material tadi. saat berlangsungnya perbaikan, memang belum semua dirapikan.

itulah manusia. diberi enak masih kurang enak, diberi nyaman masih kurang nyaman. saya teringat kelimat bijak yang kerap dipetuahkan kepada saya sewaktu masih ngaji di kampung: diwenehi ati ngrogoh rempelo (artinya sudah diberi hati minta lagi ampela). kalau nanti jalan itu selesai, saya pikir warga tanjungpiayu bersyukur sekian lama terjebak dalam kemacetan setiap kali hujan turun. mereka yang memilih kendaraan berharga tinggi juga tak akan bisa berbuat banyak, karena pengguna jalan lain juga memilih jalan. yang di belakangnya ya ngekor saja, itu pun kadang-kadang masih terperosok lobang.

yang pasti, jalan mulus yang tengah diselesaikan bisa membuat warga hemat waktu. kalau semuanya dijadikan masalah saya rasa banyak. mau tahu contohnya? mengapa hanya satu ruas saja dibangun, kalau dua kan lebih baik? saya berani taruhan, tanya saja setiap warga tanjungpiayu, memilih satu ruas jalan atau dua biar perjalanan lebih tenang?

atau jangan-jangan gambar monyet di minibus sebagai sebuah gambaran nyata monyet-monyet yang kini kehabisan tempat tinggal? kalau sekarang ada monyet bergelantungan di pepohonan tepi jalan, pasti bukan karena ingin beramah tamah dengan manusia. sejujurnya mereka bingung mau mencari makan dan tinggal di mana lagi. hutan nan lebat dibabat jadi perumahan. pepohonan juga harus dicabut ketika manusia hendak membuat jalan raya. sudah jadi jalan tanah, inginnya jalan aspal. aspal rusak inginnya diperbaiki. begitu proses perbaikan berlangsung, masih saja protes.

memang susah menerima apa yang ada pada saat ini, memang susah menjadi manusia.

penasaran? lanjut....

ya beginilah template pemberian | Elque 2007