Saturday, February 16, 2008

pak wali datanglah, lihat kami

Jalan tanah membelah hutan belantara itu seakan tiada habisnya. Padahal sudah lima kilometeran Pancur aku tinggalkan. Harus hati-hati untuk mengemudikan kendaraan, karena kedua sisi jalan jurang dalam. Selama perjalanan yang memakan waktu tak kurang dari 20 menit itu, hanya sesekali aku bersimpangan jalan dengan kendaraan lain. Orang berjalan kaki bahkan tak aku temui. Akhirnya sampai aku ke gapura sederhana. Selamat datang ke Tanjungpiayu Laut.

Wila berbaring beralaskan gulungan jaring tua di bawah sebatang pohon kelapa. Bocah 11 tahun ini bercengkerama bersama dua teman sebayanya. Seharusnya ia sekolah, karena pagi itu baru pukul 10.00 wib. Saat aku dekati, bocah berkulit hitam itu tersenyum. Belum sempat aku menyapa, ia sudah bicara duluan, "Om, ke laut yuk.

Rupanya ia masih teringat kebahagiaan saat melaut bersama ayahnya. Nasib baik berpihak, ia dan ayahnya berhasil membawa pulang dingkis dalam jumlah lumayan banyak. Kata Wila, ayahnya bisa membeli dua handphone. Meski ia katakan kejadian itu sudah lama, tampak sekali kecintaannya kepada laut. Kini, dingkis sudah susah. Wila pun tak lagi sekolah. Penuturannya, ibunya tak mampu memberinya uang untuk buku pelajaran. Ditanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ia menggeleng. "Tak tahu, saya dulu fotokopi buku pelajaran," lanjutnya.

Wila adalah satu dari sekian bocah di Tanjungpiayu Laut, Kecamatan Sei Beduk yang kurang beruntung. Laut yang menjadi harapan sudah tak lagi menjanjikan. Ikan-ikan seakan menghilang. Hasil melaut kadang hanya cukup untuk membeli beras. Kadang bisa membeli kebutuhan lain, kalau kebetulan jatah beras miskin (raskin) datang. Tanjungpiayu Laut dihuni 100-an kepala keluarga (KK), terdiri dari empat rukun tetangga (RT) dalam satu rukun warga (RW). Dapat dikatakan semuanya berprofesi sebagai nelayan.

Susahnya menjadi nelayan diutarakan Rahman (28) yang ditemui tengah membuat sampan di ujung kampung. Dengan kapak kecil, ia memasukkan sedikit demi sedikit sumbu kompor yang menjuntai ke sela-sela papan badan calon sampan. Sambil bekerja, ia mengeluhkan sepinya hasil tangkapan akhir-akhir ini.

Tiga hari melaut, kadang ia hanya mampu membawa lima kilogram ikan. Ia menyebut penimbunan tanah di mana-mana sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Laut ikut menjadi korban. Meski begitu ia tak mau mengatakan apakah yang dibutuhkan warga seandainya pemerintah memberikan bantuan. Justru ia menjawab, "Pak Wali, lihatlah aku di sini. Setelah melihat langsung kondisi warga, pemerintah akan tahu apa yang aku butuhkan. Daripada aku minta ini dan itu nanti hasilnya tak sesuai dengan harapan pemerintah."

Dikatakan Rahman, selama ini yang diketahui wajahnya hanyalah Aida Ismeth, anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) asal Kepri. Wali Kota batam sekarang hanya diketahuinya dari koran atau televisi. Wali kota sebelumnya pun tak pernah ia tahu. Camat Sei Beduk yang baru pun ia belum tahu, "Kalau kemarin Pak Rudolp, tetapi tak pernah saya lihat langsung." Merasa sebagai orang kecil, Rahman sangat berharap bisa menatap wajah pimpinannya. Warga Tanjungpiayu Laut, kata dia, tak pernah menuntut bantuan ke pemerintah, karena merasa tak ada yang bisa melakukan pembicaraan dengan pejabat. Lokasi kampung yang jauh dari kota membuat warga seakan terlelap dalam pekerjaan sehari-hari untuk mempertahankan hidup.

Laut adalah kehidupan warga setempat. Kini, tak ada lagi yang bisa dikerjakan untuk menjaga agar dapur tetap berasap selain dari mencari ikan. Sebelumnya, saat senggang melut warga mencari kayu bakar untuk dijual. Sebelum memasuki Tanjungpiayu Laut, bangunan terakhir dari Pancur adalah pabrik-pabrik bata merah. Ke tempat inilah kayu-kayu bakar tadi dijual. "Tetapi sekarang tak boleh lagi, jadi harus banting tulang di laut," katanya.

Sementara Syahrul (20) berharap pemerintah bisa memfasilitasi pengadaan listrik PLN. Saat ini warga mengandalkan genset yang hidup mulai pukul 18.00 - 23.00 wib dengan kewajiban membayar Rp150 ribu. Selain itu, ia menginginkan pemerintah peduli nasib generasi muda di Tanjungpiayu Laut. Beberapa sudah menamatkan SMA, "Tetapi akhirnya juga menjadi nelayan. Ini kan membuat banyak warga berpikir buat apa sekolah kalau hanya menjadi nelayan." Jika pemerintah peduli, mungkin ada satu dua yang diberikan beasiswa hingga perguruan tinggi agar menjadi pelopor perubahan di kampungnya. Atau anak yang cerdas diupayakan bantuan sebagai bidan desa agar warga tak kesulitan untuk berobat. Yang ada sekarang, Puskesmas Pembantu dilayani bidan yang tinggalnya tidak di kampung setempat. Kalau hujan, si bidan harus menempuh perjalanan yang jauh.

"Masa pemerintah tak punya uang untuk soal itu?" Syahrul bertanya sekaligus berharap suaranya didengarkan.

No comments:

ya beginilah template pemberian | Elque 2007