Tuesday, March 24, 2009

Budaya Nyoblos Duluan

Entah apa yang ada dalam pikiran sejumlah orang ketika mendengar istilah nyoblos. Agaknya coblos-menyoblos tetap menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Saking pentingnya, orang nekat mencoblos duluan sebelum diperintahkan.

Meski kata nyoblos dewasa ini pasti dilarikan ke ranah politik. Namun, jauh-jauh hari sebelum Pilkada digembar-gemborkan, urusan coblos-mencoblos kerap mewarnai halaman surat kabar, dibacakan penyiar radio dan televisi, juga bisik-bisik tetangga.

Mencoblos tentulah enak. Paling tidak menurut Cik Syurlai begitu. Ia memperkuat alasannya, ada pejabat yang sudah enak duduk di kursi empuk akhirnya jatuh gara-gara asyik mencoblos sesuatu yang bukan miliknya. Tak hanya di dalam negeri, di luar
negeri sana juga begitu banyak skandal soal coblos-mencoblos.

"Itu, Anwar Ibrahim dari Malaysia dibui karena tuduhan mencoblos. Penyanyi pop kelas dunia, Michael Jackson juga tersandung masalah mencoblos anak kecil. Bahkan petinju favoritku, Mike Tyson karirnya ambruk hanya gara-gara terlalu mengumbar nafsu mencoblosnya," suara Cik Syurlai berapi-api di kedai Mpok Minah. Sementara yang lain terbengong-bengong dengan kalimat yang keluar dari mulut Cik Syurlai yang tak ubahnya peluru dari senjata kelas berat di medan pertempuran, Mpok Minah justru melengoskan bibirnya. "Tiap ke warung pasti bicaranya besar, padahal yang dibeli cuma satu bungkus kwaci, itu pun yang ukurannya paling kecil. Dan satu lagi kebiasaan pelanggannya yang satu ini...," gerutu Mpok Minah belum usai ketika didengarnya suara Cik Syurlai.

"Mpoooook!" teriak Cik Syurlai.
"Tereak lagi, suaranya dikecilin bisa tak?" pinta Mpok Minah.

Yang diajak bicara tak menjawab, hanya mengedipkan sebelah matanya. Jemari tangan kanannya membentuk gerakan seolah mencengkeram gelas. Itulah kebiasaan Cik Syurlai setiap kali datang ke kedainya, yang membuatnya jengkel dalam hati. Selalu minta air putih dalam gelas besar, gratis!

Begitu meneguk air putih, semangat Cik Syurlai meninggi. Bagaikan Bung Tomo yang membangkitkan semangat para pejuang di Surabaya tempo doeloe, kali ini Cik Syurlai bangkit dari duduknya. "Banyak berita kita baca, jejaka-jejaka yang baru pacaran sudah berani mencoblos duluan pasangannya yang masih berstatus pacar. Apa ndak gila ini namanya?" tanyanya.

Bogel, Waras, Leman, Zulkipli, Butet, yang sore itu meramaikan kedai Mpok Minah bagaikan tersihir oleh gaya bicara Cik Syurlai. Menurut cerita, bakat berorasi lelaki yang usianya separoh baya ini turun dari almarhum bapaknya, Cik Mahmud. Semasa hidupnya, Cik Mahmud begitu dikenal. Sewaktu zaman penjajahan, Cik Mahmud mendapatkan tugas untuk bernegosiasi dengan petinggi kolonial. Dengan gaya dan otak encer, biasanya ia berhasil meredam konflik. Seandainya gagal di meja perundingan,
Cik Mahmudlah orang pertama yang akan berlari di garis depan sambil mengacungkan bambu runcing menghadapi tentara penjajah. Seharusnya ia pantas mendapatkan gelar pahlawan atas jasanya mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajah. Kematiannya juga di ujung peluru seorang tentara kolonialis.

Bakat bicara saja yang turun di darah Cik Syurlai, lainnya jauh panggang dari api. Meski jago bicara, sayang keenceran otak Cik Syurlai tak permanen. Kalau keuangannya tak ada masalah, ia bisa berpikir cepat dan jitu. Sebaliknya, dengan dompet yang tipis, upaya diplomasinya lebih banyak gagal. Pernah ia diminta sesepuh kampung membicarakan rencana penyerangan pemuda kampung buntut senggolan di acara dangdutan. Caik Syurlai memang datang sendirian ke balai pertemuan kampung tetangga. Karena merasa yang diajaknya bicara tak selevel dengannya, ia marah-marah sambil berkacak pinggang. Alhasil, ia kembali ke kampung dengan muka lebam-lebam dikeroyok pemuda kampung sebelah.

"Cik, kalau coblosan Pemilu?" pertanyaan Bogel membuat dahi Cik Surlai berkerut.

"Lho sampeyan ini bagaimana, sama saja! Ndak percaya, lihatlah di tepi-tepi jalan itu. Buanyak sekali gambar caleg terpampang. Cermati satu per satu, ada ndak yang bagian matanya dilobangi, hidungnya disundut rokok, atau bibirnya ditusuk pakai ranting kayu. Itu coblos-mencoblos yang terlalu cepat," Cik Syurlai bangga bisa memberikan contoh untuk kedua jenis coblos-mencoblos dengan gamblang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bukan hanya menyebutkan coblosan terlalu dini itu, Cik Syurlai juga bisa menyebutkan satu per satu nama-nama caleg yang foto di balihonya dicoblosi orang tak bertanggung jawab. Ia menggelengkan kepalanya, zaman sudah berubah, Pemilu menggunakan surat suara yang tak lagi dicoblos, melainkan dicontreng atau diconteng atau dicentang. Masih saja budaya coblos-mencoblos melekat dalam dada warga.

Apakah ini sebagai protes warga atas keplin-planan KPU karena mengganti sistem coblosan dengan contrengan? Cik Syurlai melihatnya bukan, warga akan ngikut kok apa kata orang-orang berdasi di atas. Tentu KPU sudah berpikir keras dan berulang-ulang sebelum menerbitkan keputusan tentang cara memilih calon wakil rakyat pada surat suara. Pasti rapatnya berkali-kali, sampai subuh. Pasti juga ada yang protes, ada juga yang minta waktu berpikir keras.

"Bagi saya mencoblos duluan itu sebuah tindakan bodoh. Jelas bulan April nanti kita mencontreng kok, masih suka mencoblos. Apalagi yang dicoblosi gambar orang. Kalau tak suka, ya jangan pilih di bilik suara. Begitu saja kok repot. Bahkan kalau dilaporkan sama caleg yang gambar matanya dilobangi, hidungnya disundut api roko atau mulutnya dicoblosi, pelakunya bisa dibawa ke penjara. Marilah kita sukseskan Pemilu. Partisipasi kita sangat berharga untuk menentukan pilihan kita. Kita harus aktif. Ini coblosan Pemilu, lho, bukan coblosan yang uenak itu," Cik Syurlai meluruskan. Lihatlah polahnya, sewaktu mengatakan uenak matanya merem-melek. Dasar!

Sekian lama hening, tumben Cik Syurlai berotak pintar sore itu. "Eh, ngomong-ngomong nanti Cik Syurlai dapat TPS (Tempat Pemungutan Suara) mana?" tiba-tiba Mpok Minah nongol sambil duduk di satu-satunya kursi yang masih tersisa di depan kedainya.

Cik Syurlai yang tadinya berapi-api, mengobarkan demokrasi, tergagap. Ia tambah gagap ketika Ketua RT-nya, Pak Danu yang sosoknya tinggi besar, berkumis tebal dan bibirnya selalu terselip rokok kretek mendekatinya sambil bertanya, "Cik Syurlai tiga hari lalu bilang ke saya mau golput karena merasa tak terdaftar sebagai memilih, kan? Kalau mau penjelasan nanti malam datang ke rumah saja."

Wuuuu! Serentak yang hadir sore itu mengolok-olok Cik Syurlai yang sok nasionalis tetapi belum terdaftar sebagai pemilih tetap. Dan kata Pak RT-nya, ia juga tak punya KTP setelah KTP lamanya habis masa berlakunya tiga tahun silam. Diolok-olok begitu, Cik Syurlai beranjak pulang. Sore ini Tinah, istrinya yang kerja di pabrik luar kota pulang ke rumah. Dua minggu sekali perempuan bertubuh montok ini pulang untuk memberikan uang kebutuhan hidup Cik Syurlai yang nasibnya kurang bagus, tak pernah diterima saat melamar kerja. Hanya satu terpikir di benak kepalanya. "Nyoblos duluan, ah," bisiknya dalam hati.

Batam, 24 Maret 2009

No comments:

ya beginilah template pemberian | Elque 2007