Tuesday, March 24, 2009

Tukar Nasib

Bukan hanya warga kere, miskin, gembel yang suka meniru gaya berbisnis orang kaya. Jika orang kaya mampu membangun SPBU, wong cilik juga membuat tiruannya dengan kios bensin eceran tepi jalan. Yang kaya berlomba-lomba membuat mal dan supermarket, yang kroco juga sama, melirik rumah paling sudut yang ditawarkan developer untuk dijadikan kedai kelontong. Kalau belum mampu melengkapi barang jualan, rokok beberapa bungkus pun jadilah.

Ternyata, orang yang dianggap pinter, tahu aturan, tahu hukum pun pingin mencoba bisnis rakyat. Mungkin ingin turut merasakan susahnya menjadi orang kecil, makanya dua jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta put ikut-ikutan menjual barang bekas. Padahal saat ini pedagang barang bekas lagi mak nyut-nyut kepalanya lantaran larangan mengimpor barang bekas dari negera si bule. Pasti bukan lantaran ukurannya yang gede lantas kedodoran ketika dipakai orang kita yang jelas berbeda postur. Bukan, bukan itu.

Cik Syurlai belum selesai membaca berita tentang ditetapkannya dua jaksa tersebut sebagai tersangka karena menjual barang bekas. Namun ia sudah bersungut-sungut kepada istrinya yang baru lima jam pulang dari kos-kosannya di kota. Buruh pabrik ini tersenyum memandangi suaminya yang kemudian menatapnya tanpa senyum. "Ada apa Bang?" tanya Tinah, istri Cik Syurlai.

"Bayangkan dik, masa jaksa kok ngikut cara kita berjualan enam bulan lalu."
"Maksud Abang?"
"Lha iya jelas keblinger, lha wong jaksa yang duitnya banyak, berangkat ke kantor pakai mobil yang catnya bisa kita buat ngaca, yang modelnya selalu terbaru.."
"Jadi Abang iri, ingin jadi jaksa. Eling Bang, sekolah Abang itu cuman sampai kelas empat SD."
"Kita, orang kecil saja nggak bisa lagi jualan barang bekas karena barangnya susahnya selangit didapatkan, kok bisa-bisanya dua jaksa dan seorang polisi ingin mencobanya. Ujungnya, ya dipenjara."
Raut muka Tinah langsung muram, ia takut jika nanti bekas pedagang barang bekas sepertinya dicari lalu ikut dipenjara. Waduh...

Cik Syurlai tertawa melihat kelakuan istrinya. "Baca ini dik, dua jaksa dijadikan tersangka karena menjual barang bukti. Barang bukti kan sama saja dengan barang bekas, sama-sama bekas punya orang. bedanya, kalau kita dulu jualan baju, cawat, boneka, mainan, kutang bekas, kalau jaksa dalam berita ini jualan sabu-sabu yang jadi barang bukti," lanjut Cik Syurlai.

Oooo, Tinah melongo. Bulat sekali.

Cik Syurlai memandang langit dari balik jendela ruang tengah rumahnya. ia bingung memikirkan nasib bangsa ini. Ada orang pintar, tentu ada orang kurang pintar dan kurang beruntung sepertinya. Toh ia menerima keadaan. Ia sadar benar, di dunia memang hanya ada dua hal, hitam dan putih, baik dan buruk, atas dan bawah. Jaksa harusnya orang pintar, sekolahnya tinggi, buku referensinya saja tebal-tebal satu lemari, kok ya tega-teganya mengajari orang kecil dengan perilakunya yang tak terpuji.

Kalau memang diperbolehkan menjual barang bukti dengan status barang bekas, mengapa tak diserahkan saja pengelolaannya kepada orang-orang kecil sepertinya? Cik Syurlai tersenyum membayangkan bagaimana ia mendapatkan limpahan barang bukti berupa mobil-mobil mewah dari jaksa untuk dijual. Pasti untungnya besar. Istrinya tak perlu lagi repot bekerja di kota sebagai buruh pabrik, dua minggu sekali pulang ke rumah. Kalau barangnya belum laku, bisa dipakai jalan-jalan dahulu. Pamer prestise.

Membaca berita selengkapnya, Cik Syurlai merasa bersyukur bisa lebih waras. Selama menjalankan usaha menjual barang bekas, ia tak pernah mencuri barang dari toke. Paling cuma merayu agar ditambah bonus beberapa helai celana jins merek terkenal. Kalau pun akhirnya sang toke berbaik hati dengan memberinya bonus selembar cawat bekas dipakai Britney Spears, ia sudah bersyukur. Nah, dua jaksa yang ditetapkan jadi tersangka mencomot 300 butir ekstasi dari total 5.000 butir ekstasi hasil penangkapan di Apartemen Paladian, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan tersangka M Yusuf. Kasusnya sendiri tengah disidangkan.

Iri kok sama bisnis orang kecil, protes Cik Syurlai. Bukankah menjadi pejabat itu enak? Siang hari, saat jam makan bersama koleganya bisa memilih tempat makan yang enak. Bertemu kliennya, bisa memilih hotel yang adem karena AC-nya bagus. Kasurnya empuk mendut-mendut. Bisa nelpon pake hape berlama-lama karena untuk membeli pulsa tak harus menghitung keuangan keluarga. Olahraga juga terjamin, bisa renang setiap minggu, sebulan sekali main golf. Enak sekali menurut Cik Syurlai. Lantas ia melihat dirinya sendiri, punya hape satu yang dibeli dengan cara cicilan. Itu pun model kuno, kuno sekali. Layarnya hitam putih, berwarna kalau pas dimatikan. Saat mati gelap, saat menyala agak terang. Cuma bisa dipakai nerima telpon dan SMS. Bukannya rusak fasilitas ngirimnya, semata-mata karena jarang sekali diisi pulsa oleh pemiliknya. Ukurannya segede batu bata, hati-hati saja kalau sampai jatuh mengenai kaki, bisa bengkak. Tidur pun beralas kasur tipis yang diambil dari sisa barang bekas yang tak laku dijual, meski harganya dibanting setengah harga. Kata calon pembelinya, ada bekas noda di permukaan kasur. Padahal, siapa tahu kasur itu pernah dipakai Brad Pitt dan Angelina Jolie saat kencan?

Kalau memang ingin tukar nasib, mengapa tak dibuat sayembara lalu dimuat di koran-koran. Dicari, relawan yang ingin merasakan kehidupan pejabat. Boleh ngantor, boleh tinggal di rumahnya, pakai mobilnya, mungkin begitu isi iklannya. Dipastikan banyak warga kecil yang berbondong-bondong mendaftar. Pasti mereka rela, rela setengah mati dengan hati yang tulus rumahnya dipakai oleh pejabat yang ingin sekedar merasakan susahnya jadi warga kecil.

Seperti acara di teve itu lho. Tukar Nasib. Si miskin diberi kesempatan beberapa hari tinggal di rumah si kaya, sementara si kaya tinggal di rumah si miskin. Jika menyaksikan acara ini, kadang Cik Syurlai menitikkan air mata. Pada sebuah episode, saat batas waktu yang diberikan habis, si miskin membuat surat untuk si kaya. Isinya terima kasih telah diperkenankan merasakan hari-hari sebagai orang kaya dan tak lupa ditaruhnya bakul berisi sayuran, buah-buahan. Sebagai kunjungan balasan, setelah si kaya mendapatkan pemberian tulus dari si miskin, ia dan anggota keluarganya memberikan bingkisan untuk keluarga si miskin. Cik Syurlai tak peduli apakah acara itu dinilai mendidik atau tidak, baginya alangkah indahnya negeri ini jika garis batas kaya dan miskin hanyalah berupa benang tipis. Kenyataannya, batas itu begitu kentara. Rumah yang dipagar beton tebal setinggi tiga meter sudah pasti milik si kaya, atau katakanah pejabat. Rumah berdinding papan di atas kali dengan toilet alam, sudah pasti milik si miskin. Pejabat yang bisa ruang kerjanya di lantai lima bisa dengan gampang menyaksikan bagaimana si miskin berlari tergesa-gesa mencari toilet umum di bawah sana. Pejabat kaya bisa nyaman berkendara di jalan raya, kaca mobil sengaja dijadikan penghalang untuk membuka mata melihat sekelilingnya. Tentang wanita tua yang berjualan nasi bungkus di bawah pohon asam, simpang tiga yang dilalui mobil pejabat.

"Ah, bagaimana ya rasanya menjadi pejabat?" Cik Syurlai bertanya kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian ia terlelap, dan bangun dua jam kemdudian masih sebagai orang kere.***

Bidadari, Tanjungpiayu, Batam
25 Maret 2009

No comments:

ya beginilah template pemberian | Elque 2007