Friday, March 27, 2009

Ketua RT vs Anggota DPRD

Malam itu Cik Syurlai dapat undangan kondangan (baca doa) tetangganya. Pesan si pengundang yang datang sore: syukuran rumah. Meski kadang-kadang cuek sama orang lain, tetapi untuk urusan yang ada makan-makannya tak bakal ditinggalkan lelaki ini. Lihatlah, belum juga azan isya berkumandang dia sudah rapi dengan kopiah putihnya. Sampai-sampai Tinah, istrinya ngeledek habis-habisan. Toh apa kata orang, Cik Syurlai tetap melenggang.

Selangkah, dua langlah, akhirnya tiba juga Cik Syurlai ke rumah Wage, tetangga yang ngundang kondangan. Setelah mengucapkan salam, Cik Syurlai disambut jabat tangan belasan warga yang sudah datang terlebih dahulu: selamat datang Pak RT! Rupanya pamit dengan istrinya, Cik Syurlai tak langsung ke tempat kondangan, melainkan mampir dulu ke pos ronda yang ada di gang dekat rumahnya hanya untuk mendapatkan selinting rokok. Dan Pak RT malam itu mendapatkan tempat yang spesial, di tengah-tengah ruangan, biar bicaranya bisa didengar semuanya.

Mumpung ada Pak RT, satu per satu warga berkomentar. Dari soal parit yang sudah saatnya dikeruk secara gotong royong hingga penampilan Si Mince yang dianggap Jawir, pemuda setempat, sebagai biang pemicu nafsu. "Lha pagi-pagi mau ke pasar saja pakainya rok mini," Jawir melempar bola panas. "Tapi kan kamu suka juga ngelihatnya, kan?" jawab Cik Syurlai. Jawaban yang membuat Jawir garusk-garuk kepala. Benar juga kata Pak RT-nya.

"Susah juga jadi Pak RT ya...." Cik Syurlai ganti berkomentar.

Jelas saja semua warga menatapnya tajam-tajam. Biasanya ia paling suka dianggap sebagai pionir, bahkan saat pilihan Ketua RT bulan lalu ia paling getol menyuarakan program-programnya. Penanaman sejuta pohonlah, membebaskan warganya dari administrasi pembuatan surat pengantar untuk KTP, mengupayakan lapangan bola, mendirikan kelompok tani dan sebagainya. Gaya pidatonya yang mak nyos membuat warga simpatik. Pokoknya kalau soal bicara jangan lawan yang satu ini.

Lalu Cik Syurlai meneruskan kalimatnya, pertama ia harus kehilangan senyum ramah tetangga rumahnya persis gara-gara menjalankan amanat sebagai Ketua RT. Beberapa malam lalu, Cik Syurlai mendapati tetangganya itu mabuk-mabukan di ujung gang bersama lima temannya. Sebagai Ketua RT, Cik Syurlai pun mengingatkan, "Sudah menjadi kesepakatan warga untuk tidak minum-minuman keras di wilayah RT kita. Kalau sekadar minum air putih silakan, atau minum es cendol jangan lupa undang saya. Kalau memang kegiatan ini dianggap memiliki nilai plus dalam diri saudara-saudara sekalian, saya atas nama warga sini memohon untuk tidak melakukannya di sini. Mau di perempatan jalan protokol sana, di dekat rawa belakang sana atau di mana saja, silakan." Oalah, keesokan paginya si tetangga yang biasanya rajin tersenyum kepada Pak RT-nya malah membuang muka.

Kedua, Cik Syurlai juga harus kehilangan tempat mengutang rokok dan gula lantaran ketegasannya sebagai Ketua RT. Si pemilik kedai kebetulan pengusaha pagar besi di belakang rumahnya. Kalau pas dapat banyak orderan, suara gergaji dan mesin lainnya terdengar jelas. Lantas ada warga lain ngadu. Begitulah, ketika dinasehati Pak RT agar bisa memahami waktu istirahat, si pemilik kedai manggut-manggut. Sehari kemudian, ketika bibir dower Cik Syurlai pahit karena jatah rokok habis, ia tegas-tegas ditolak ngutang lagi. "Bapak ini Ketua RT apa, ada warganya membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja kok malah disengiti. Tak ada utang-utangan lagi, sudahlah utang kemarin saya ihlaskan saja. Cuman besok jangan ngutang di warung saya lagi," cerocos pemilik kedai. Hati Cik Syurlai langsung mak nyut. Nasib-nasib.

Ketiga, ada salah satu warga Cik Syurlai yang paling susah diajak kerja bakti. Ada-ada saja keluhan dan alasannya. Yang pulang kerja malamlah, yang izin karena bisulnya di pantat sudah mau bocorlah, bibirnya sariawanlah. Padahal apa hubungannya bibir sariawan sama kerja bakti. Lha kok jawabannya seperti ini, "Kalau kerja bakti kan pasti ada makanannya Pak RT. Padahal makanan itu dibeli dari kas warga, nggak adil dong kalau saya tak ikut merasakan." Walah, orang hidup kok cuman mikir perut. Padahal kalau Cik Syurlai disuruh milih, ia lebih milih bawah perut. Gara-gara pilihannya ini, sering istrinya yang bekerja di kota kesiangan bangun, tak kebagian metrotrans lagi. Habis malamnya suaminya sibuk ngurusi yang satu itu.

Terkait dengan warga pemalas ini, lagi-lagi Cik Syurlai mendapatkan getahnya. Suatu waktu, si warga minta surat pengantar sebagai warga miskin yang berhak mendapatkan kartu miskin. Syaratnya ada pengantar dari Ketua RT. Karena malas kerja bakti, ada alasan Cik Syurlai untuk mempersulit urusan ini. Lhadalah, tanpa dikomando dari mulut si warga keluar sumpah serapah. Katanya, Pak RT kan sudah dibayar sama pemerintah. Kan dapat insentif, kok masih mempersulit karena saya memang tak bawa uang ke sini. Cik Syurlai mengurut dada, sumpah bukan urusan duit tetapi kesetiaan bagi warganya tadi untuk meningkatkan rasa kesadaran bermasyarakat. Mana pernah Cik Syurlai meminta uang administrasi kepada setiap warganya yang minta surat ini dan itu. Setiap ditanya berapa, ia paling cuma menjawab: terserah. "Kan saya tidak minta pada warga, mereka nanya berapa saya jawab terserah. Terserah kan banyak artinya, terserah kalau tidak mau memberi, terserah kalau hanya mengucapkan terima kasih, terserah kalau mau menginap dan sebagainya," ini kelitan Cik Syurlai ketika Pak RW-nya datang klarifikasi soal duit pengurusan surat yang biasa diterima Cik Syurlai sebagai Ketua RT.

Ke sekian, ada lagi yang membuat Cik Syurlai sedih. Apa pada tak tahu kalau Tinah, istrinya yang cuma satu-satunya bekerja sebagai buruh pabrik di kota. Dari tabungan sedikit demi sedikit, istrinya berhasil mengumpulkan duit. Dirasa sudah cukup, Cik Syurlai pun memanggil tukang untuk membuatkan pagar semen di depan rumahnya. "Apa yang saya dengar dari warga? Maaf lho ini, bukan sampeyan-sampeyan yang bicara, tetapi warga yang di ujung sono dan sono," sebelum bercerita lebih komplit Cik Syurlai mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lucu sekali gayanya. "Ada yang bilang, tuh Cik Syurlai baru jadi RT sebulan sudah bangun pagar," lanjut Cik Syurlai, "apa saya sebagai Ketua RT harus meladeni tudingan-tudingan seperti itu. Kata orang-orang bijak, seperti dalam pilem-pilem itu, lebih baik mengalah untuk menang."

Sungguh, malam itu warga yang hadir kondangan seolah-olah turut merasakan penderitaan Cik Syurlai sebagai Ketua RT. Melihat mimik warganya sedih, Cik Syurlai tak ingin memutus keseriusan mereka mendengarkan perkataannya. Menurut Cik Syurlai, lebih berat menjadi Ketua RT dibandingkan anggota DPRD. Mana tahu anggota DPRD kalau ada persoalan warganya menyangkut rok mini, malas kerja bakti dan segala yang dirasakan Cik Syurlai. Mereka hanya tahu anggaran untuk pos A kok tahun ini berkurang, kalau reses pun sekadarnya melongok ke bawah. Padahal mereka dipilih oleh rakyat. Memang benar, ada juga anggota DPRD yang rela mengeluarkan duit banyak supaya mendapatkan simpati. Begitu duduk yang dicarinya adalah mengembalikan modal yang sudah dibagikannya sebelumnya. Tetapi, imbuh Cik Syurlai, anggota DPRD kan sudah digaji lumayan besar dibandingkan gaji istrinya. Untuk duit-menduit ini, Cik Syurlai pun buka-bukaan, "Saudara-saudara mungkin tak tahu. Untuk membuat brosur program-program ke-RT-an saya waktu pemilihan itu saya harus bayar fotokopi. Foto yang ada di fotokopi itu juga hasil bayar di studio foto, tetapi saya senantiasa dekat dengan warga. Reses tak reses sama saja, saya ada di sini. Aku ada untuk kamu, begitu kata Mas Dhani menyanyikan Kamulah Satu-satunya."

Mana peduli anggota dewan mendengarkan kas warga yang menipis karena bulan ini banyak warga yang sakit, uangnya kita sumbangkan. Anggota dewan tak tahu, yang dia tahu kalau sakit bisa berobat ke rumah sakit yang diinginkannya. Berapa pun biayanya akan dibayar yang penting bisa sembuh. "Harusnya anggota dewan itu yang seperti saya. Dikritik warganya menerima, tidak malah nantang karena merasa punya bekingan. Apalagi setelah masa kampanye ini, coba hitung berapa banyak baliho, spanduk mereka dipasang di tepi jalan menuju perumahan kita. Kelihatan sudah saling jegal dari awal. Di mana ada sudut yang bagus, ramai-ramai dipasangi gambar. yang gambarnya besar itu yang tampak, yang kecil ya pasrah saja. Kalau ada gambar foto yang roboh, mana ada yang mau menegakkan. Saya pernah melakukan itu karena saya merasa tersentuh hati, siapa tahu yang gambarnya saya tolong nanti terpilih dan bisa menolong saya.." Cik Syurlai berapi-api.

Warganya saling melirik lalu tersenyum. Kalau sudah bicara pada level serius seperti itu, apa yang dilontarkan Cik Syurlai pasti tak terkendali.

Cas cis cus Cik Syurlai masih berlanjut, dan baru terhenti saat ustad yang dipanggil tuan rumah datang untuk memimpin doa. "Jadi Cik Syurlai tertarik untuk menjadi anggota DPRD nih?" tanya ustad yang sempat mendangarkan sepenggal pidato Cik Syurlai.

Ditanya seperti itu, Cik Syurlai hanya bisa mengulum senyum. Sekolah tak selesai, modal cuma dengkul yang sudah keropos. Acara dimulai, Cik Syurlai terpekur dalam doa bersama warga. Ada satu doa diucapkan Cik Syurlai, Ya Tuhan, sejahterakanlah negeri ini, berilah kepedulian untuk pemimpin bangsa ini dengan keadaan Ketua RT-nya, naikkanlah insentifnya. Amin...

No comments:

ya beginilah template pemberian | Elque 2007